Kamis, 22 Januari 2009

Mempertegas Posisi Ekonomi Islam Di Antara Ekonomi Konvensional

Ambruknya sistem perbankan konvensional pada pertengahan tahun 1997 berdampak negatif terhadap sistem perekonomian nasional. Kondisi tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintahan Orde Baru yang memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada beberapa bank yang dinilai kurang sehat serta tidak memenuhi syarat untuk terus melanjutkan operasinya. Bantuan yang diberikan ternyata tidak menyelesaikan masalah, akan tetapisebaliknya membuat keadaan menjadi

lebih buruk dan semakin parah. Kepercayaan nasabah terhadap bank-bank konvensional turun secara drastic, bahkan di antaranya ada yang mengalami rush akibat penarikan uang dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.
Di antara sekian banyak bank yang beroperasi di Indonesia hanya satu yang dinilai mampu bertahan dan tetap kokoh menghadapi gelombang krisis ekonomi yang menerpa bangsa Indoensia yaitu,

bank Mu’amalat. Sistem bagi hasil (mudharabah) yang menjadi asas utama dalam transaksi (‘aqad) bank tersebut ternyata dinilai cukup efektif untuk meminimalisir kerugian kedua belah pihak (pihak bank dan nasabahnya). Kekuatan bank Mu’amalat ternyata bukan terletak pada besarnya rasio kecukupan modal yang dimilikinya, tetapi justru terdapat pada sistem lose and profit sharing (untung dan rugi bagi sama) yang diterapkannya . Dari aspek etos kerja, sistem ini dapat memacu kedua belah pihak untuk tetap menggunakan modalnya dalam koridor bisinis produktif dan sedapat mungkin menghindari bisnis konsumtif yang justru dapat mengurangi modal yang telah dimiliki.
Bercermin kepada keberhasilan bank Mu’amalat tersebut, para ahli ekonomi kemudian secara perlahan mengubah orientasi pemikirannya ke arah paradigma ekonomi Islam yang dianggap lebih meyakinkan dan menjanjikan. Bahkan lebih jauh dari itu, beberapa bank konvensional saat ini telah memiliki bank Syari’ah seperti bank Syari’ah Mandiri dan bank Syari’ah BNI. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah seiring dengan akan disyahkannya Undang-undang Tentang Perbankan Syari’ah dan Takaful.
Menyikapi perkembangan yang cukup menggembirakan itu, pihak perguruan tinggi, khususnya IAIN, mencoba melakukan terobosan baru dengan mendirikan jurusan ilmu ekonomi Islam. Terobosan ini dilakukan terutama untuk menyiapkan kader-kader intelektual yang mampu bekerja secara profesional di berbagai institusi ekonomi Islam seperti bank syari’ah dan takaful (asuransi Islam). Animo para calon mahasiswa terhadap jurusan baru tersebut ternyata cukup besar karena dianggap lebih prospektif dibandingkan dengan jurusan-jurusan yang telah ada sebelumnya.
Untuk kasus IAIN, jurusan ekonomi Islam biasanya dibuka di fakultas Syari’ah. Pengelompokan ekonomi Islam ke dalam sub bidang ilmu syari’ah secara tidak langsung akan menimbulkan problem epistemologis dalam filsafat ilmu. Problem epistemologis tersebut perlu ditelusuri secara dini agar out put yang dihasilkan tidak kontraproduktif dengan tujuan didirikannya jurusan tersebut. Selama ini, persoalan fiqh mu’amalat yang diajarkan di fakultas syari’ah lebih berorientasi normatif dibandingkan orientasi produktif. Artinya, para sarjana ahwal al-syakhsiyah lebih banyak menekuni teori-teori tentang kedudukan suatu transaksi di mata hokum Islam. Sementara praktek di lapangan, teori tersebut hanya dibutuhkan pada taraf konseptual bukan pada taraf aplikasi.
Di lain pihak, dunia usaha cenderung lebih membutuhkan praktisi ketimbang teoritisi. Fenomena tersebut dapat mengancam eksistensi jurusan ekonomi Islam karena ternyata out put-nya kurang menguasai persoalan ekonomi aplikatif yang dibutuhkan. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba melihat posisi ekonomi Islam dari sudut pandang filsafat ilmu. Tinjauan ini diharapkan dapat menempatkan jurusan ekonomi Islam pada habitat yang sebenarnya.

Problem Epistemologis Ilmu Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain, ilmu eknomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam.
Dengan mengetahui objek formal dan material sebuah ilmu, maka akan dapat ditelusuri eksistensinya melalui tiga pendekatan yang selalu dipergunakan dalam filsafat umum yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis . Pendekatan ontologis dijadikan sebagai acuan untuk menentukan hakikat dari ilmu ekonomi Islam. Sedangkan pendekatan epistemologis dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip dasar, ciri-ciri, dan cara kerja ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari .
Secara ontologis, ilmu ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekular ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sejauh itu dapat memuaskan kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, fiqh mu’amalat belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena dia masih membutuhkan legislasi dari Al-Qur’an dan Hadits.
Dari sisi lain, teori kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh mu’amalat tentu saja berbeda secara diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu ekonomi selalu mengacu kepada tiga teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat ilmu yaitu teori koherensi (kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori korespondensi (kesesuaian dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme (kesesuaian dengan kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat mengacu secara ketat terhadap wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang benar bilamana tidak terdapat larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan sumber pengetahuan dan teori kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit untuk memadukan antara ilmu ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara faktual diakui bahwa pemberlakuan sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir sama dengan yang terdapat dalam sistem ekonomi konvensional.
Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery.
Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification.
Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya, Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya..
Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi’i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah.
Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil . Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis .
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh mu’amalat karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang dibuat sebelumnya. Fiqh mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak.
Di samping problem epistemologis dalam filsafat ilmu yang disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam juga mendapat tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta
Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis

2 Konsep Uang
Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba
Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money
Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal
Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga
Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .
Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam.
Di samping itu, masih sulit dibayangkan alumni jurusan fiqh mu’amalat mampu memimpin sebuah lembaga keuangan syari’ah seperti bank, asuransi, pasar modal, bahkan lembaga zakat dan wakaf . Perhatikan, misalnya, Dhompet Dhu’afa Republika yang telah menjadi lembaga zakat paling besar di Indonesia. Dari sederetan nama yang tercantum dalam board management-nya ternyata sebagian besar berasal dari alumni non-IAIN.
Demikian juga dunia perbankan, asuransi, dan pasal modal. Sektor ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana yang menguasai ilmu-ilmu praktis seperti akuntansi, statistika, dan matematika ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu praktis menjadi hal yang sangat esensial mengingat modal yang diputarkan dalam bidang tersebut hanya dapat dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu tersebut. Perusahaan-perusahaan komersil tentu tidak mau rugi hanya dikarenakan miss management yang seharusnya tidak terjadi bila mereka mempekerjakan orang-orang yang menguasai bidang tersebut secara baik.

Solusi Alternatif dalam Membangun Ilmu Ekonomi Islam
Perbedaan mendasar antara disiplin ilmu ekonomi konvensional dan fiqh mu’amalat mengharuskan adanya pemikiran untuk mensinergikan keduanya ke dalam satu disiplin ilmu. Kemungkinan yang terjadi adalah terjadinya redefinisi terhadap ilmu ekonomi, dimana materi bahasan dalam ilmu ekonomi akan bertambah dengan adanya materi dari ilmu fiqh mu’amalat, ataupun akan berkurang dengan adanya pembatasan materi tertentu yang dianggap tidak relevan dengan syari’ah. Contoh dalam hal ini adalah pembahasan mengenai teori tingkah laku konsumen (consumer behavior) yang dibatasi dengan asumsi syari’ah tentang larangan komoditas dan jasa non-halal, atau teori produksi (production theory) yang ditambah dengan asumsi bahwa modal sebagai faktor produksi yang tidak memasukkan uang di dalamnya.
Kemungkinan kedua adalah terjadinya redefinisi terhadap fiqh mu’amalat dimana materi bahasannya bertambah dengan analisa hokum terhadap berbagai konsep ekonomi modern seperti time value of money, instrumen pasar modal atau transaksi di pasar valuta asing. Untuk memberi penilaian terhadap konsep-konsep tersebut diperlukan pemahaman mendasar asal-usul dan hubungannya dengan ekonomi secara keseluruhan .
Kecenderungan ini akan berpengaruh luas kepada produk-produk aplikasi dari kedua ilmu tersebut di atas. Jika ilmu ekonomi mengalami redefinisi, maka produk-produknya pun akan mengalami redefinisi pula. Mengikuti kemungkinan pertama, misalnya, produk ekonomi mikro seperti regressi permintaan akan komoditas umum akan mengalami redefinisi dengan mengeluarkan indeks barang yang tidak sesuai syariah. Dalam ekonomi makro juga demikian, misalnya indeks harga konsumen (consumer price index – CPI) yang digunakan sebagai pembagi dalam penghitungan inflasi juga mengalami perubahan dengan mengeluarkan komoditas yang diasumsikan oleh syari’ah tidak dikonsumsi. Akibat dari hal ini, akan terjadi bias dalam beberapa indikator. Dengan kata lain, akkan terjadi perbedaan dalam berbagai indikator ekonomi. Misalnya, inflasi yang dihitung menurut CPI biasa akan berbeda dengan tingkat inflasi yang dihitung dengan menggunakan asumsi-asumsi syariah. Demikian pula prediksi tingkat pengangguran (unemployment), pertumbuhan (growth), pendapatan nasional (national income) atau lainnya. Jika fiqh mu’amalat yang mengalami redefinisi, maka ia harus ditulis ulang dengan menambahkan sejumlah konsep ekonomi yang baru dan belum mendapat penilaian hukum pada kitab fiqh klasik .
Redefinisi terhadap fiqh mu’amalat sama artinya dengan proses Islamisasi ilmu-ilmu yang dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi. Islamisasi pengetahuan berarti merestorasi kembali fungsi wahyu untuk didudukkan sejajar dengan akal dan pengalaman manusia sebagai sumber pengetahuan . Salah satu percobaan awal dalam bidang ini adalah apa yang disebut unified approach to shari’ah an social inference (pendekatan untuk menyatukan ilmu syari’ah dengan ilmu-ilmu sosial.
Akhir-akhir ini, penyatuan antara ilmu syari’ah dengan ilmu-ilmu sosial merupakan wacana yang cukup menarik minat para filosof muslim. Penolakan terhadap konsepsi ilmu positivistic yang berkembang pada awal abad ke-20 telah menimbulkan krisis spritual di kalangan ilmuwan. Kuatnya keyakinan aliran positivisme untuk menjadikan rasio sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan menyebabkan para penganutnya terjerumus ke lembah atheisme. Kekosongan spritual itu terjadi akibat ketidakyakinan mereka terhadap ranah metafisika. Padahal sejak awal, Islam telah memposisikan metafisika sebagai dasar dalam segala hal, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya dalam filsafat Islam, wahyu dijadikan sumber ilmu pengetahuan yang pertama sebelum sumber pengetahuan lainnya .
Secara umum, ada beberapa langkah yang harus diikuti dalam proses integrasi ilmu pengetahuan yaitu:
1. Analisis terhadap teks/fenomena hingga sampai kepada komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan-pernyataan/tindakan-tindakan.
2. Pengelompokan pernyataan-pernyataan/tindakan-tindakan sejenis ke dalam satu kategori
3. Identifikasi peraturan-peraturan yang mengintegrasikan berbagai kategori.
4. Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan umum yang menguasai interaksi dan interrelasi berbagai kategori.
5. Sistematisasi himpunan aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur terlebih dahulu (yaitu dengan cara menghilangkan kontradiksi) .
Mencermati proses integrasi yang disebutkan di atas, maka jurusan ilmu ekonomi Islam perlu ditempatkan kepada fakultas yang lebih sesuai. Menurut penulis, bila kemungkinan pertama yang dipilih (redefinisi ilmu ekonomi), maka jurusan ilmu ekonomi Islam sebaiknya ditempatkan di fakultas ekonomi. Tetapi sebaliknya, bila kemungkinan kedua yang dipilih (redefinisi fiqh mu’amalat), maka jurusan ilmu ekonomi Islam lebih tepat dimasukkan ke dalam fakultas syari’ah.
Namun bagaimanapun juga, porsi ilmu ekonomi dan porsi fiqh mu’amalat harus seimbang dan menjadikannya sebagai mata kuliah inti (mata kuliah keahlian). Tujuannya adalah agar para sarjana yang dihasilkan menguasai materi ilmu ekonomi secara mapan sekaligus dapat menentukan justifikasi hukum terhadap prilaku ekonomi yang sedang dilakukannya. Dengan cara demikian, alumni jurusan ekonomi Islam akan mampu bersaing dengan alumni jurusan ilmu ekonomi dari berbagai perguruan tinggi non-Islam lainnya.
PRODUKSI DAN KONSUMSI DALAM AL-QUR’AN:
APLIKASI TAFSIR EKONOMI AL-QUR’AN
Abstrak
Produksi dan konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan produktivitas tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi rendah mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi, instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain. Bagaimanakah menyeimbangkan pola konsumsi dan produksi secara proporsional dalam perekonomian?
Pola konsumsi dan perilaku produksi menentukan roda perekonomian. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran, memiliki ajaran tentang konsumsi, produksi dan distribusi disamping aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya. Di antara ayat konsumsi misalnya al-Baqarah(2): 168, al-Isra(17): 26-28, an Nahl (16): 114. Dalam ayat-ayat tersebut terkandung prinsip halal dan baik, tidak diperkenankannya perilaku berlebihan, pelit, boros, harus seimbang, proporsional dan pertanggung jawaban. Dalam al-Baqarah(2): 22, 29 an-Nahl(16): 5, 11, 65-71, Lukman (31) 20, al-Mulk (67): 15, yang merupakan ayat produksi mengandung ajaran bahwa kegiatan produksi harus memenuhi kebutuhan masyarakat, menimbulkan kemaslahatan, tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Demikian pula dalam ayat-ayat distribusi seperti al-Anfal(8): 1, al-Hasyr(59): 7, al-Hadid(57): 7, at-Taubah(9): 60 mengandung nilai larangan keras penumpukan harta benda atau barang kebutuhan pokok pada segelintir orang. Pola distribusi harus mendahulukan aspek prioritas berdasarkan need assessment.
Dengan pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an, pemahaman terhadap ayatayat kunci di atas diharapkan mencapai pemahaman yang proporsional tentang produksi, distribusi dan konsumsi. Sebagai sebuah metodologi baru dalam pemahaman al-Qur’an, memungkinkan sampai pada kontekstualisasi nilai-nilai ekonomi al-Qur’an dalam praktek perekonomian. Dari pemahaman itu pula diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi perilaku ekonomi baik tataran individu maupun masyarakat sehingga keseimbangan perekonomian dapat tercapai. Kasus-kasus seperti over heating pada perilaku pasar yang dipastikan melambungkan laju inflasi setiap bulan puasa dan hari Raya Idul fitri, Tahun baru, hari-hari raya dan lain-lain dapat dieliminir melalui sikap dan perilaku ekonomi masyarakat.

Produksi
Dalam ekonomi Islam, produksi mempunyai motif kemaslatan, kebutuhan dan kewajiban. Demikian pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan usaha seseorang atau kelompok untuk melepaskan dirinya dari kefakiran. Menurut Yusuf Qardhawi (1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian ummat. Sedangkan motif perilakunya adalah keutamaan mencari nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan berusaha pada sesuatu yang halal. Karena itu dalam sebuah perusahaan misalnya, menurut M.M. Metwally asumsi-asumsi produksi, harus dilakukan untuk barang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang tidak menimbulkan ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan untuk melakukan usaha produksi.
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan , pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusahaan diberikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.

1. Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat(primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
2. Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah pruduksi dipengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi; sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor sdm, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3. Kapan produksi dilakukan
Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4. Mengapa suatu produk diproduksi
a. alasan ekonomi
b. alasan sosial dan kemanusiaan
c. alasan politik
5. Dimana produksi itu dilakukan
a. kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b. murahnya sumber-sumber ekonomi
c. akses pasar yang efektif dan efisien
d. biaya-biaya lainnya yang efisien
6. Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7. Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu

Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
Bagaimanakah, al-Qur’an memberikan landasan bagi aktivitas produksi? Secara spesifik di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan sumber nilai dan pesan mengenai tema ini adalah Qs al-Baqarah(2): 22, an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81 al-Maidah(5): 62-64. Dari urutan surat-suratnya, dalam mushaf al-Qur’an ayat-ayat di atas terdiri atas; al-Baqarah(2): 22, QS al-Maidah(5): 62-64, an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81.
Adapun dari tipologi surat Makkiyah dan Madaniyah; surat an-Nahl tergolong surat Makkiyyah yaitu surat al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad melakukan Hijrah ke Madinah, dan surat al-Baqarah dan termasuk golongan surat Madaniyyah. Dari pengelompokan itu, maka kita dapat memulai pembahasan dari surat an-Nahl dan kemudian membahas ayat pada surat Madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2): 22, dan al-Maidah (5): 62-64
Qs an-Nahl(16): 5-9,
5“Dan dia Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.“
6“Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7.“ Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
8. “Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bigal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
9.“ Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau dia menghendaki, tentulah dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).an-Nahl(16):10-11,
10.“Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
11“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.

an-Nahl(16):14,
14. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.

an-Nahl(16):65- 70,
65. Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).
66.“ Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67. “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
69. “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
70.“ Allah menciptakan kamu, Kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.

an-Nahl(16):80- 81
80. Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
81. Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang Telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu Pakaian yang memeliharamu dari panas dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).

al-Maidah(5): 62-64,
62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka Telah kerjakan itu.
63. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.

Dari paparan terjemahan dalam kedua surat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada di sekitar kita (dalam ayat-ayat diatas; binatang ternak, pegunungan; tanah perkebunan, lautan dengan kekayaannya, ingat lagi pandangan al-Qur’an tentang harta benda yang disebut sebagai Fadlum minallah) sebagai media untuk kehidupan di dunia ini, lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros. Pada surat al-Isra(17): 30 Allah menegaskan; Dia lah yang menjamin atau telah menyediakan rezeki untuk manusia. Di sinilah manusia tinggal berusaha secara optimal sebagai media untuk meraih rezeki itu.
Sifat ekonom muslim dengan demikian dalam perilaku produksi selayaknya mengikuti gambaran pada surat an-Nahl. Pada ayat ke lima di atas, yang mengandung makna bahwa kegiatan produksi dilakukan secara berkesinambungan tanpa melakukan kerusakan. Hal ini terlihat dari penggunaan fi’il mudhari’. Produsen muslim sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom yang bersifat seperti digambarkan pada surat al-Maidah di atas yaitu menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan, berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Walau bagaimanapun, secanggih alat untuk menghitung nikmat Allah pasti tidak akan menghitungnya. Dengan demikian mengambil pelajaran dan berguru kepada alam merupakan bagian dari aplikasi syukur atas nikmat Allah yang tiada pernak terhitung itu;

18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan demikian, menurut Muhammad Abdul Mannan , berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar (given demand conditions). Karena kurva permintaan pasar tidak cukup memberikan data untuk sebuah perusahaan mengambil keputusan. Dalam system konvensional, perusahaan diberikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung lebih terkonsentrasi pada output yang memang menjadi permintaan pasar (effective demand), dimana kebutuhan riil dari masyarakat tidak dapat begitu saja mempengaruhi prioritas produksi sebuah perusahaan













Kurva
Produksi dalam Pasar Monopoli





























Memang diakui pula bahwa dalam Islam orientasi keuntungan menjadi salah satu tujuan dari aktifitas produksi, namun rambu-rambu syariah membuat corak prilaku produksi tidak seperti yang dibangun system konvensional. Perilaku produksi yang ada pada konvensional terfokus pada maksimalisasi keuntungan (profit oriented). Boleh saja pada suatu kondisi (pada satu pilihan output dengan konsekwensi harga tertentu) oleh konvensional dinilai tidak optimal, tapi berdasarkan nilai kemashlahatan baik bagi perusahaan maupun lingkungannya (pertimbangan kebutuhan masyarakat, kemandirian negara dll), hal ini dapat di katakan optimal.

Menurut Mannan, keseimbangan output sebuah perusahaan hendaknya lebih luas, sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap kondisi pasar. Pendapat ini didukung oleh M.M. Metwally, bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan (level of profits) tapi juga oleh variable pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Demikian pula menurut Ghazali bahwa dalam perilaku produksi dan konsumsi bertujuan mencapai posisi muzakki dengan berusaha mendapatkan harta sebanyak yang kita mampu, namun tetap membelanjakannya di jalan Allah SWT. Ini dilakukan dengan semangat hidup hemat dan tidak bermewah-mewah. Dengan kata lain perilaku produksi dan konsumsi adalah perilaku yang bertujuan menjauhi posisi fakir, sesuai dengan peringatan Rasulullah SAW bahwa kefakiran mendekatkan manusia pada kekufuran.

Konsumsi
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam al Qur’an:
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup(needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi zakat (implementation of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba (prohibition of riba); menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari maisir dan gharar; meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta. Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan (an-Nisa(4) :5) yang merupakan karunia Allah (an-Nisa(4) :32. Islam memandang segala yang ada di di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Sebaliknya dalam perspektif konvensional, harta merupakan asset yang menjadi hak pribadi. Sepanjang kepemilikan harta tidak melanggar hukum atau undang-undang, maka harta menjadi hak penuh si pemiliknya. Dengan demikian perbedaan Islam dan konvensional tentang harta, terletak pada perbedaan cara pandang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept sedangkan konvensional memandangnya berdasarkan stock concept.
Adiwarman membahas harta, dimasukan dalam pembahasan uang dan kapital. Menurut beliau uang dalam Islam adalah public goods yang bersifat flow concept sedangkan kapital merupakan private goods yang bersifat stock concept. Sementara itu menurut konvensional uang dan kapital merupakan private goods .
Namun pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
2. Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
3. Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akherat). Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah mashlahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban.
Sementara itu Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya. Sedangkan pada perspektif konvensional, aktifitas konsumsi sangat erat kaitannya dengan maksimalisasi kepuasan (utility). Sir John R. Hicks menjelaskan tentang konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility) yang tergambar dalam kurva indifference (tingkat kepuasan yang sama). Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat pendapatannya (income sebagai budget constraint).
Dalam al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata kulu dan isyrabu terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan minumlah (kulu wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Diantara ayat-ayat konsumsi dalam al-Qur’an adalah Albaqarah(2): 168, 172, 187, al-Maidah(5): 4, 88, al-An’am(6) 118, 141, 142, al-A’raf(7):31, 160, 161, al-Anfal(8): 69, an Nahl (16): 114, al-Isra(17): 26-28, Toha(20): 54, 81, al-Hajj(22): 28, 36, al-Mukminun(23): 51, Saba(34): 15, at-Tur(52): 19, al-Mulk (67): 15, al-Haqqah(69): 24, almursalat(77): 43, 46 dan lain-lain.
Dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada ayat-ayat berikut:
Albaqarah(2): 168,
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
an Nahl (16): 114
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah.
Pada kedua ayat secara tegas, terdapat prinsip halal dan baik, prinsip keiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur dan prinsip tauhid. Dengan prinsip-prinsip demikian, maka pola konsumsi seseorang dan juga masyarakat, diarahkan kepada kebutuhan dan kewajiban berdasakan standar-standar prinsip di atas. Demikian pula, dalam ayat-ayat berikut; al-Isra(17): 26-28,
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
28. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas. Al-A’raf,7 :31-32
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
32. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.
Pada kedua ayat di atas, terdapat prinsip menjauhkan diri dari kekikiran baik pada diri sendiri maupun terhadap orang lain. Demikian pula terdapat prinsip proporsionalitas dalam melakukan aktivitas konsumsi. Dan prinsip pertanggung jawaban dalam setiap aktivitas konsumsi. Hal ini berdasar pada ayat al-Mulk(67): 15.
Bagaimanakah, memproporsionalkan antara kebutuhan dan keinginan dalam aktivitas konsumsi? Diakui bahwa aktifitas ekonomi berawal dari kebutuhan manusia untuk terus hidup (survive) di dunia. Segala keperluan untuk bertahan untuk hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan hidup tidak dapat dipenuhi sendiri menyebabkan adanya berbagai interaksi untuk proses pemenuhan keperluan hidup manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga memunculkan pasar sebagai wadah interaksi ekonomi.
Pemenuhan keperluan hidup manusia secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan yang bersifat dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori Maslow ini merujuk pada pola pikir individualistic-materialistik.
Dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup boleh jadi seperti yang Maslow gambarkan, namun pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika secara kolektif yaitu kebutuhan dasar masyarkat sudah pada posisi yang aman. Ketika, masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka tidak akan ada implikasi negatif yang muncul. Dengan demikian diperlukan peran negara dalam memastikan hal ini. Di akui ada beberapa mekanisme dalam system ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Parameter kepuasan dalam ekonomi Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS Lukman(31): 20)
Apa yang diungkapkan Hasan Al Banna, menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Dari pembahasan keperluan hidup manusia, penting untuk di bahas perbedaan kebutuhan dan keinginan. Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktifitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan perilaku ekonomi Islam, motif “kebutuhan” (needs) lebih mendominasi dan menjadi nafas dalam roda perekonomian dan bukan keinginan.
Kebutuhan (needs) didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan) manusia atas segala hal. Ruang lingkup keinginan lebih luas dari kebutuhan. Contoh sederhana menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam perilaku konsumsi pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Namun perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan, konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu. Terdapat nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk perilaku ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.





Pola produksi
Kebutuhan, Keinginan dan Faktor Produksi

Kebutuhan Versus Keinginan
Aktivitas ekonomi memang berawal dari kebutuhan fisik manusia untuk dapat terus hidup (survive) di dunia ini. Segala keperluan untuk bertahan hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan untuk hidup itu tidak dapat dipenuhi sendiri dan kehidupan manusia memang tidak bersifat individual tapi social (kolektif), maka terjadilah interaksi pemenuhan keperluan hidup diantara para manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga muncullah pasar sebag
ai wadah interaksi ekonomi ini.
Pemenuhan keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup itu berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.Sementara dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup dari seseorang atau individu boleh jadi memang seperti yang Maslow gambarkan, tapi perlu dijelaskan lebih detil bahwa pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang aman. Artinya masyarakat luas (umat) sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga tidak akan ada implikasi negatif yang nanti muncul akibat pemenuhan kebutuhan dasar kolektif tadi yang belum sempurna terwujud. Jadi diperlukan peran suatu otoritas atau negara dalam memastikan itu semua. Seperti yang nanti dijelaskan dalam bab selanjutnya, bahwa memang ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan Negara
Selain itu perlu dipahami juga bahwa parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin (pahala) dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.[1] Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT
Umer Chapra (2000) mencoba menjelaskan maksud Imam Al Ghazali dalam mendefinisikan fungsi syariah dalam Islam. Al Ghazali mendefinisikan bahwa fungsi Syariah adalah untuk mensejahterakan seluruh manusia melalui perlindungan agama, diri manusia, akal, keturunan dan harta. Chapra menyimpulkan bahwa dengan memasukkan jiwa manusia, akal dan keturunan di dalam model-model ekonomi, adalah mungkin untuk menciptakan kepuasan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia.
Dari pembahasan keperluan hidup manusia dan tahapannya tadi, sebenarnya juga penting untuk di bahas apa perbedaan kebutuhan dan keinginan yang dalam perekonomian Islam mendapat perhatian tidak kurang besarnya. Karena kedua motif tadi akan dengan signifikan membedakan corak atau karakteristik aktivitas ekonomi.
Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif “kebutuhan” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini, bukan keinginan. Apa perbedaan dan konsekwensinya?
Kebutuhan (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan)[2] manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kebutuhan. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Memang diakui bahwa perbedaan keinginan dan kebutuhan begitu relative diantara satu manusia dengan manusia lain. Salah satu factor yang cukup menentukan dalam membedakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas (kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya parameter umum yang harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Dengan kebersamaan kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita, sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu mencerminkan kebutuhan atau keinginan.
Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa prilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia, ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka. Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya. Dengan segala nilai dan norma yang ada dalam akidah dan akhlak Islam peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan dimungkinkan untuk terjadi.
Peleburan keinginan dengan kebutuhan dalam diri manusia Islam terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic norms). Sehinggaketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang orisinil yang bersumber dari Islam. Dan secara simultan otomatis ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah eksis saat ini






Iman & Kepuasan

Apa hubungan iman dan ekonomi? boleh jadi ini kunci ekonomi dalam Islam. Bahkan tingkat perbedaan konsep ekonomi Islam dengan konsep-konsep lain ditentukan seberapa besar tingkat keimanan kolektif pelaku yang mengakomodasi aplikasi ekonomi Islam.
Keimanan pada dasarnya mencerminkan kepatuhan manusia pada nilai-nilai dan ketentuan Islam. Keimanan akan membentuk corak inisiatif, motif, preferensi dan mekanisme pelaksanaan prinsip-prinsip berekonomi secara Islam. Keimananlah yang menentukan seperti apa seseorang memperlakukan pendapatannya. Keimanan juga yang membentuk preferensi konsumsi, produksi, investasi atau prilaku sosial.
Dengan begitu, keimanan juga akan membentuk besaran-besaran ekonomi yang ada dalam perekonomian. Korelasi positif yang terjadi antara besaran ekonomi tersebut dengan keimanan kemudian menjadi besaran yang dapat dijadikan ukuran atau standard pencapaian ekonomi, sehingga ekonomi sebagai alat pencapaian kesejahteraan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, selaras dengan aktifitas-aktifitas ibadah lain yang telah lazim dikenal dalam agama (Islam). atau dengan makna lain, bahwa ekonomi pada level itu tidak lagi bisa dibedakan dengan agama, karena memang ekonomi adalah salah satu piranti praktis dari agama. Wallahu a'lam bishawab.

MANAJEMEN KONSUMSI

Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ilmu ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. Etika Ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan material yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan energi manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya.
Berdasarkan hal diatas, Islam menciptakan manajemen konsumsi dalam 5 prinsip yang mudah untuk diamalkan :
Prinsip pertama adalah prinsip keadilan. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Allah mengharamkan darah, daging binatang yang telah mati sendiri dan daging babi (Qs al-Baqarah,2:173) karena berbaya bagi tubuh. Allah mengharamkan daging binatang yang ketika di sembelih diserukan nama selain Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk menyembah berhala dan persembahan bagi orang-orang yang dianggap suci atau siapapun selaian Allah (Qs al-Baqarah, 2 : 54) karena berbahaya bagi moral dan spiritual karena hal-hal ini sama dengan mempersekutukan Tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
Prinsip kedua adalah prinsip kebersihan. “Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan:”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
Prinsip ketiga adalah prinsip kesederhanaan. Kesederhanaan ini bermakna tidak berlebih-lebihan. “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7 : 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengeruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
Prinsip keempat adalah Prinsip kemurahan hati. Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5:96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya , jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.Prinsip terakhir adalah prinsip moralitas. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
Dengan demikian, ia akan merasa kehadiran Ilahi sewaktu memenuhi kebutuhan fisiknya. Insya Allah, jika Kita ummat Islam memegang erat-erat prinsip-prinsip manajemen konsumsi ini, maka terhadap arus konsumerisme yang tengah melanda dahsyat, kita dapat menantangnya dengan mengatakan “ Siapa takut !”












Investasi, Simpanan Dan Distribusi
Memahami Sukuk sebagai Pilihan Baru Investasi Syariah
Pemerintah Indonesia, beberapa waktu lalu, disarankan beberapa lembaga keuangan internasional, untuk menerbitkan sukuk atau obligasi syariah, dan dijual kepada para investor khususnya di Timur Tengah. Apalagi sudah ada perusahaan swasta, PT Matahari, yang diberitakan sudah menerbitkan sukuk al-ijarah senilai Rp 100 miliar. Ini menarik karena sukuk dipandang dari sisi produk baru investasi syariah, mulai banyak diterbitkan di sejumlah negara dan diminati investor Timur Tengah.
Pada prinsipnya sukuk atau obligasi syariah adalah surat berharga sebagai instrumen investasi yang diterbitkan berdasar suatu transaksi atau akad syariah yang melandasinya (underlying transaction), yang dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah atau yang lain. Sukuk yang sekarang sudah banyak diterbitkan adalah berdasar akad sewa (sukuk al-ijarah), dimana hasil investasi berasal dan dikaitkan dengan arus pembayaran sewa aset tersebut. Meskipun demikian, sukuk dapat pula diterbitkan berdasar akad syariah yang lain.
Penerbitan instrumen investasi ini dapat dipandang sebagai inovasi baru dalam keuangan syariah dan salah satu jawaban atas diharamkannya riba dan dihalalkannya jual-beli dalam Islam (QS 2:275). Sukuk bukan instrumen utang piutang dengan bunga (riba), seperti obligasi yang kita kenal dalam keuangan konvensional, tetapi sebagai instrumen investasi. Sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syariah yang jelas.
Bagi investor Timur Tengah, besarnya minat untuk membeli sukuk dapat dijelaskan dari dua hal. Pertama, karena instrumen ini dinilai dapat memenuhi pinsip-prinsip syariah dalam investasi, yang selama ini masih relatif terbatas jenis produk dan transaksinya. Bagi investor Timur Tengah akan lebih mudah berinvestasi dalam instrumen keuangan seperti ini dibanding dengan harus melakukan investasi langsung misalnya dalam bentuk penyertaan di suatu perusahaan. Kedua, dengan menurunnya harga saham dan hasil investasi di pasar keuangan barat, yang diikuti dengan meningkatnya sentimen anti Amerika Serikat dan dunia barat sejak September 2001, banyak investor Timur Tengah yang mulai melirik berinvestasi di negara-negara khususnya yang mayoritas penduduknya muslim seperti di Indonesia. Diperkirakan investor Timur Tengah menginvestasikan lebih dari 1,2 triliun dolar AS di pasar keuangan internasional, utamanya di Amerika dan Eropa.
Bagi lembaga penerbitnya, baik pemerintah atau perusahaan, sukuk dapat digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan di samping penerbitan saham, obligasi atau pinjaman dari bank. Dengan demikian, kesempatan untuk meningkatkan usaha dan kegiatan ekonomi dapat terdukung.
Bagi pemerintah, sukuk dapat digunakan untuk pembiayaan berbagai proyek infrastruktur dan proyek lain untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penerbitan sukuk juga memungkinkan untuk dapat meningkatkan arus investasi dari Timur Tengah yang diyakini dalam jumlah besar dan selama ini relatif belum dimanfaatkan. Lebih dari itu, penerbitan instrumen ini juga mendukung pengembangan produk dan operasi keuangan yang berbasis syariah yang sedang ditingkatkan di Indonesia.
Berawal dari akad syariah
Penerbitan sukuk al-ijarah biasanya dimulai dari suatu akad jual beli aset (misalnya gedung dan tanah) oleh pemerintah atau perusahaan kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT X, untuk suatu jangka waktu tertentu dengan janji membeli kembali setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Akad jual beli ini pada saat bersamaan diikuti dengan akad penyewaan kembali aset tersebut oleh PT X kepada pemerintah atau perusahaan selama jangka waktu tersebut. Dengan demikian, akad ini tidak mengubah pemanfaatan terhadap aset tersebut. Dalam istilah keuangan, transaksi seperti ini dikenal dengan back-to-back lease, dan untuk itu PT X diperlukan sebagai Special Purpose Vehicle (SPV), yaitu perusahaan yang khusus didirikan dalam penerbitan sukuk ini.
Dengan adanya sewa menyewa aset tersebut sebagai transaksi yang mendasarinya, penerbitan suatu instrumen investasi berbasis syariah dapat dimungkinkan. Dengan bantuan suatu lembaga keuangan internasional yang profesional sebagai arranger dan mungkin sekaligus underwriter, sukuk al-ijarah dapat diterbitkan oleh PT X kepada para investor yang meminati instrumen investasi syariah, khususnya dari Timur Tengah.
Setelah diterbitkan di pasar perdana, sukuk tersebut juga dapat diperdagangkan di pasar sekunder sebagai layaknya instrumen investasi. Hasil investasi yang diperoleh investor berasal dari pembayaran sewa oleh pemerintah/perusahaan kepada PT X tersebut. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang telah ditentukan sesuai dengan kondisi pasar. Secara sederhana proses penerbitan sukuk al-ijarah seperti terlihat dalam skema.
Proses penerbitan sukuk jenis lain hampir serupa. Bedanya pada akad syariah yang mendasarinya. Sebagai contoh, sukuk al-mudharabah diterbitkan berdasarkan suatu transaksi atau proyek investasi bagi-hasil yang sedang atau akan dilakukan. Obligasi syariah PT Indosat yang telah diterbitkan sebelumnya dapat diklasifikasikan sebagai sukuk jenis ini.
Kelebihan dan kekurangan
Salah satu pertanyaan yang muncul dan dipertimbangkan pemerintah atau perusahaan adalah apa kelebihan dan kekurangan sukuk tersebut dibanding obligasi konvensional atau surat utang lainnya. Bagi pemerintah, misalnya, keberhasilan penerbitan obligasi 1 miliar dolar AS di pasar internasional beberapa waktu yang lalu menunjukkan masih besarnya minat investor internasional untuk investasi dengan hasil pasti dan relatif kecil risikonya.
Juga penerbitan obligasi konvensional ini dapat dilakukan langsung oleh pemerintah, dengan bantuan lembaga keuangan internasional tentunya, tanpa harus menciptakan transaksi back-to back lease seperti pada sukuk al-ijarah dan pembentukan PT sebagai SPV tersebut.
Untuk kasus Indonesia, bagi pemerintah penciptaan underlying transaction yang mendasari penerbitan sukuk al-ijarah ini nampaknya masih memerlukan prosedur tertentu, misalnya persetujuan DPR untuk penjualan aset negara dan penciptaan back-to-back lease dalam jangka waktu tertentu tersebut. Bagi perusahaan swasta, seperti PT Matahari, hal seperti ini nampaknya tidak menjadi masalah.
Permasalahannya adalah bahwa instrumen obligasi konvensional seperti yang diterbitkan pemerintah tersebut tidak bisa dipasarkan kepada investor Timur Tengah yang menginginkan instrumen investasi berbasis syariah. Padahal minat dan potensi investasi yang dapat digali dari para investor Timur Tengah ini cukup besar. Di sinilah arti penting penerbitan sukuk sebagai produk baru investasi syariah.
Selain itu, penciptaan back-to back lease pada sukuk al-ijarah tersebut bersifat sementara dan akan berakhir dengan selesainya jangka waktu penerbitan sukuk tersebut. Pada dasarnya kepemilikan atas aset tersebut masih berada di di tangan pemerintah sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar, suatu hal yang selama ini telah menjadi komitmen pemerintah. Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan aset yang bersangkutan.
Gambaran diatas menunjukkan penerbitan sukuk sebagai produk baru investasi syariah, menjadi pilihan banyak negara. Bagaimana di Indonesia? Dari sisi prinsip syariah, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai sukuk, sukuk al-mudharabah, dan sukuk-al ijarah sudah ada. Fatwa ini yang antara lain melandasi diterbitkannya sukuk al-mudharabah PT Indosat dan sukuk al-ijarah PT Matahari di atas. Apakah akan diterbitkan juga oleh pemerintah, kita tunggu kemauan politik dan tindak lanjut kebijakan pemerintah untuk mengkaji penerapan instrumen investasi syariah seperti ini di Indonesia.
Yang jelas, pengembangan produk perbankan dan keuangan syariah memerlukan dukungan dan komitmen dari semua pihak, Pemerintah, DSN, DPR maupun umat Islam pada umumnya. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentunya pengembangan perbankan dan keuangan syariah diperlukan dan sekaligus diharapkan mampu mengejar ketinggalan dari negara-negara lain yang sudah lebih dahulu melakukannya. Pandangan dalam tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat BI.
Fiqih Zakat Kontemporer
Islam adalah agama yang memiliki ciri khas dan karakter “Tsabat wa Tathowur” berkembang dalam frame yang konsisten, artinya Islam tidak menghalangi adanya perkembangan-perkembangan baru selama hal tersebut dalam kerangka atau farme yang konsisten.
Hukum halal dan haram adalah merupakan hal yang konsisten dalam Islam, tidak dapat dirubah, tetapi sarana untuk mencapai sesuatu misalnya dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan zaman. Demikian pula hal-hal yang tidak dirinci oleh Islam, yang hanya diterangkan secara global dapat menjadi pintu masuk untuk inovasi pengembangan pelaksanaanya selama masih dalam kontek tidak melanggar syariat.
Dengan semakin pesatnya perkembangan keilmuan yang diiringi dengan perkembangan teknologi dan ekonomi dengan ragam dan coraknya, maka perkembangan kehidupan saat ini tidak dapat disamakan dengan kehidupan zaman sebelum masehi atau di zaman Rasulullah saw dan generasi setelahnya. Tetapi subtansi kehidupaan tentunya tidak akan terlalu jauh berbeda. Kegiatan ekonomi misalnya, diera manapun jelas akan selalu ada, yang berbeda adalah bentuk dan corak kegiatannya, karena subtansinya dari kegiatan tersebut adalah bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di zaman Rasulullah saw kegiatan ekonomi yang ada mungkin simpel-simpel saja, ada sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan. Saat ini ketiga sektor tersebut tetap ada, tapi dengan corak yang berbeda tentunya dengan apa yang dialami oleh Rasulullah saw. Dalam sektor trading atau perdagangan misalnya, akad-akad (model-model transaksi) yang dipraktekkan sekarang sangat banyak sekali sesuai dengan kemajuan teknologi.
Dengan semakin berkembangnya pola kegiatan ekonomi maka pemahaman tentang kewajiban zakatpun perlu diperdalam sehingga ruh syariat yang terkandung didalamnya dapat dirasakan tidak bertentangan dengan kemajuan tersebut. Maka pemahaman fiqh zakat kontemporer dengan mengemukakan ijtihad-ijtihad para ulama kontemporer mengenai zakat tersebut perlu difahami oleh para pengelola zakat dan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masalah zakat ini
Dr Yusuf Qordhowi yang sampai saat ini karyanya mengenai fiqh zakat belum ada yang bisa menandinginya, menyatakan bahwa mensikapi perkembangan perekonomian yang begitu pesatnya, diharapkan adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pengelola zakat khususnya lembaga-lembaganya, yaitu berpedoman pada kaidah perluasan cakupan terhadap harta yang wajib dizakati, sekalipun tidak ada nash yang pasti dari syariah, tetapi berpedoman pada dalil yang umum. (Qordhowi, 1994, 15)
Ikatan-Ikatan Syar’iyyah Dalam Fiqh Zakat Kontemporer Dr Yusuf Qordhowi menyatakan bahwa; sedikitnya ada beberapa faktor yang mendasari keberhasilan suatu lembaga pengelolaan zakat :
Memperluas cakupan harta wajib zakat dengan dalil umum, sebagai strategi dalam “fundraising” (penghimpunan dana) yang hal tersebut mencakup harta yang nampak “Dhohiroh” dan yang tidak nampak “bathinah”
Manajemen yang profesional
Distribusi yang baik.erangkat dari pemahaman point pertama, maka kita menyaksikan perbedaan yang jauh antara pemikiran ulama-ulama klasik dengan ulama kontenporer mengenai harta yang wajib dizakati.
Pada umumnya ulama-ulama klasik mengkatagorikan bahwa harta yang kena zakat adalah : binatang ternak, emas dan perak, barang dagangan, harta galian dan yang terakhir adalah hasil pertanian. Tetapi dalam ijtihad kontenporer yang saat ini salah satunya diwakili oleh bukunya Dr Yusuf Qordhowi, beliau merinci banyak sekali model-model harta kekayaan yang kena zakat, sebanyak model dan bentuk kekayaan yang lahir dari semakin kompleknya kegiatan perekonomian.
Dr Qordhowi membagi katagori zakat kedalam sembilan katagori; zakat binatang ternak, zakat emas dan perak yang juga meliputi uang, zakat kekayaan dagang, zakat hasil pertanian meliputi tanah pertaanian, zakat madu dan produksi hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain, zakat pencarian, jasa dan profesi dan zakat saham serta obligasi.
Dari sisi jumlah katagori, kita akan dapatkan bahwa hasil ijtihad fiqh zakat kontemporer jumlanya hampir dua kali lipat katagori harta wajib zakat yang telah diklasifikasikan oleh para ulama klasik. Katagori baru yang terdapat pada buku tersebut adalah , zakat madu dan produksi hewani, zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain. Zakan pencarian dan profesi serta zakat saham dan obligasi. Bahkan Dr Yusuf Qordhowi juga menambah dengan zakat hasil laut yang meliputi mutiara ambar dan lain-lain. (Dr Sofwan Idris, 1997, 155)
Dr Mundzir Qohf yang merupakan salah seorang pakar ekonomi Islam mengungkapkan hal senada bahwa : Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan, syarat katagori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan tarifnya. Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah (pengelola zakat) untuk merubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah (Pengelola Zakat) dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.(Mundzir Qohf, 1999, 37)
Kaidah yang digunakan oleh ulama kontenporer dalam memperluas katagori harta wajib zakat adalah, bersandar pada dalil-dalil umum, disamping berpegang pada syarat harta wajib zakat yaitu tumbuh dan berkembang. Baik tumbuh dan berkembang melalui usaha atau berdasarkan pada dzat harta tersebut yang berkembang.
Dalam zaman modern ini yang ditumbuhkan dan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memiliki nilai ekonomis yang luar biasa memang banyak sekali, manusia bukan hanya mampu mengekploitasi potensi eksternal dirinya tapi manusia modern dapat juga mengekploitasi potensi yang ada dalam dirinya untuk dikembangkan dan diambil hasilnya dan kemudian mengambil untung dari keahliannya tersebutseperti para dokter, pengacara, dosen dst.
Nampaknya berdasarkan definisi inilah maka ijtihad kontenporer khususnya Dr Yusuf Qordhowi mengembangkan empat katagori baru pada katagori harta yang wajib dizakati. Dan semua katagori baru yang muncul dapat dilihat relevansinya dengan kontek ekonomi modern. (Dr Sofwan Idris, 1997, 156)Peran kemajuan teknologi juga turut berperan dalam mengembang tumbuhkan harta kekayaan, maka barang-barang yang diproduksi melalui proses teknologi tersebut juga tidak dapat luput dari kewajiban zakat, baik hal tersebut berupa produk pertanian ataupun produk peternakan.
Yang perlu dicatat bahwa ijtihad-ijtihad kotemporer mengenai zakat yang muncul sekarang ini pada dasarnya tetap berpedoman pada karya-karya klasik dan pada nash-nash yang ada bukan merupakan ijtihad yang tanpa dasar. Hal tersebut dapat kita lihat pada pembukaan buku fiqh zakat Dr Qordhowi yang menjelaskan rujukan-rujukan yang digunakannya dalam ijtihadnya.
Dalam menyongsong pemberlakuan UU NO 38 th 1999 mengenai pengelolaan zakat dan UU NO 17 th 2000 mengenai pajak penghasilan, kita diharapkan tidak kaku dalam menilai masalah zakat, karena kekakuan atau kefanatismean kita hanya mau menggunakan satu madzhab fiqh misalnya, justru akan cukup menghambat teralisasinya tujuan-tujuan disyariatkannya zakat yang memiliki dimensi ekonomi dan sosial. Ruh ketidak kakuan dan menerima ijtihad-ijtihad kontemporer yang berdasar pada kaidah-kaidah umum Islam inilah yang akan semakin mendorong keefektifan pengelolaan zakat, dan bahkan akan melahirkan Undang-undang zakat tambahan yang bukan hanya mengurus para pengelonya saja tetapi merumuskan harta-harta yang terkena zakat.

Dalam Ibadah Zakat Terdapat Bekal
Zakat sesuai dengan namanya merupakan penyuci jiwa; ia membebaskannya dari daya tarik dunia dan mensucikannya dari kotoran serta dosa. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At Taubah:103)
Sedang kebersihan jiwa dan kesucian batin merupakan sebaik-bauk bekal dan keberuntungan yang besar. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams: 9-10)
Zakat, Infaq dan Shadaqah secara umum merupakan ibadah yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah dan pada waktu yang bersamaan merupakan bekal rohani dan proses tarbiyah yang amat penting. Fitrah manusia mencintai harta dan ingin memiliki. Al Qur’an telah menegaskan hal itu: “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr:20)
Dan dalam hadist Rasulullah saw juga disebutkan yang kira-kira maknanya adalah, “Andaikan anak adam (manusia) memiliki satu lembah emas, tentu ia akan mengharap memiliki satu lembah lagi selainnya, tiada yang dapat menyumpal (keinginan) matanya itu kecuali tanah”.
Secara fitrah manusia itu cenderung kikir: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (Al Ma’arij:19-21) “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr:9)
Karenanya kita melihat banyak manusia yang mabuk kepayang dengan kekayaan dunia, saling memperebutkannya, berperang karenanya, egois, dendam, saling membenci, iri hati, dan rakus yang sampai setingkat hewan. Itu semua akan nampak di masyarakat yang kosong dari nilai-nilai keimanan.
Islam yang agung ini mendidik kecenderungan tersebut, mensucikan jiwa kaum muslimin dan meluruskan hubungan mereka dengan harta dan kekayaan dunia. Islam mengajarkan pada orang yang beriman bahwa harta yang ada ditangannya itu adalah titipan Allah, harta kenikmatan yang tidak abadi yang seharusnya digunakan untuk menunaikan risalahnya dalam hidup ini; yaitu beribadah kepada Allah, dan bahwa Allah-lah yang membagi rizki di antara manusia dengan berbagai dasar dan kebijaksanaan serta Ilmu-Nya.
Islam telah mengatur distribusi harta di antara manusia dengan cara yang belum ada duanya, hingga dapat mewujudkan kehidupan yang baik dan mulia, sunyi dari kebencian, permusuhan, kedengkian dan permusuhan; diliputi perasaan saling cinta, mengutamakan orang lain, qana’ah, kasih sayang dan belas kasihan dengan sesama.
Islam telah menetapkaan sangsi berat bagi orang yang dikuasai oleh nafsunya hingga menzalimi hak orang lain. Juga mengatur cara mencari harta dan cara membelanjakannya; yaitu dengan cara yang halal.
Mengeluarkaan zakat, infaq dan shadaqah di jalan Allah merupakan upaya mendidik, menundukkan, dan melatih jiwa untuk mengalahkan kecintaan terhadap harta dan ketergantungan dengannya, serta menganjurkannya untuk mengasihi orang-orang fakir dan yang membutuhkan bantuan. Juga menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap masalah-masalah umat Islam, negara Islam dan perjuangan di jalan Allah. Ini semua dapat mempengaruhi pembentukan pribadi muslim yang benar dan integral. Alangkah butuhnya orang-orang yang beriman pada kepribadian itu.
Orang yang melaksanakan perintah Allah untuk mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah di jalan-Nya merasa bahwa harta yang dimiliki pada hakikatnya adalah milik Allah. Karenanya, ia menggunakannya sejalan dengan perintah dan ajaran pemiliknya; tidak halal baginya mengumpulkan dan membelanjakan harta dengan cara menyimpang dari aturan-aturan-Nya.
Orang yang beriman memandang bahwa harta merupakan sarana yang digunakan untuk mentaati Allah dan mengumpulkan harta bukanlah tujuan akhir. Dengan begitu, harta akan berada di tangan kita untuk digunakan dan dimanfaatkan, bukan di dalam hati; menguasainya, mensihirnya dan memanfaatkan diri kita untuk mengumpulkan, menjaga dan membanggakannya, sehingga harta menjadi kesibukan kita satu-satunya.“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At Takasur:1-2)“Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah.” (Al Humazah: 1-4).

0 komentar:

Posting Komentar

Ryan Patrawijaya © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute